Tuesday, August 22, 2017

ULAMA PIDIE YANG DITAKUTI BELANDA

Penulis: Hendra Darmawan Waido (HDW)


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Kisah yang akan diceritakan berikut merupakan kisah nyata dari perjalanan seorang hamba Allah yang dikenal dengan nama Tengku Chik di Pasi (bukan nama asli), kisah nyata ini diceritakan secara turun temurun oleh masyrakat Pidie, khususnya masyarakat yang berdomisili di kawasan Simpang Tiga dan Kembang Tanjong, kisah ini menggambarkan bagaimana perjalanan seorang hamba Allah yang mendapat karamah (keuramat) dari Allah SWT. Bukti sejarah dari perjalanan hidup beliau ini masih dapat dijumpai sampai sekarang di beberapa gampong dalam kecamatan Simpang Tiga dan Kembang Tanjung. Nama asli beliau adalah Abdussalam bin Burhanuddin, beliau berdomisili di Gampong Waidoe kecamatan Peukan Baro Kabupaten Pidie. Kendati beliau berdomisili di Gampong Waidoe perjalanan hidup beliau terjadi di beberapa tempat terutama di kawasan kecamatan Simpang Tiga dan Kembang Tanjong.

Pada suatu hari ada beberapa orang tamu datang ke rumah Tengku Chik untuk bertamu, ini merupakan tradisi yang dibangun masyarakat Aceh untuk menghormati seorang ulama, dan ini sudah menjadi tradisi dalam masyarakat. Tengku Chik adalah seorang ulama yang hidupnya sederhana, kebetulan pada hari itu ketika tamu-tamu datang ke rumah tidak ada lauk yang akan di masak untuk makan siang para tamu, isteri Tengku Chik mengomel dan mengeluh. Melihat kondisi tersebut Tengku Chik mohon izin sebentar kepada tamunya itu, beliau segera ke belakang rumah mengambil jala serta mengajak seoarang anak kecil yang sedang berada di depan rumahnya. Melihat keadaan agak lengang, beliau segera membuka jala dan melemparnya persis di halaman rumahnya, setelah ditarik, Subahanallah yang didapat adalah ikan bandeng yang lumayan besar-besar, beliau mengulangi melempar jala di tempat itu juga, hasilnya juga sama, anak kecil tadi merasa heran dengan tingkah dari Tengku Chik. Setelah merasa cukup beliau menyuruh anak tersebut memberikan ikan yang didapat tadi kepada isterinya, terselesaikanla
h keluhan isterinya tersebut berkat keuramat yang dimiliki beliau.

Tengku Chik hidup di tengah masyarakat Waido yang kebanyakan berprofesi sebagai petani, demikian juga dengan Tengku Chik. Sudah menjadi tradisi masa lalu bahwa membajak sawah (meugoe) dilakukan dengan lembu atau kerbau, begitu juga meugoe yang dilakukan oleh Tengku Chik Pasi. Setiap hari beliau pergi ke sawah selalu terlambat dari petani yang lain, bahkan sudah menjadi kebiasaan beliau, ketika orang bertanya “Mengapa tengku selalu terlambat ke sawah?” beliau menjawab “Lembu saya terlambat bangun tidur, saya tidak mau mengganggu tidurnya” demikian jawaban Tengku Chik. Akibatnya beliau tertinggal dari petani, lain yang sudah siap sawahnya untuk ditanami padi sedangkan beliau tidak. Kendati demikian sawah yang duluan padinya ditanami adalah sawah Tengku Chik, hasil padi beliau pun lebih melimpah dibandingkan dengan petani lainnya.

Pada suatu hari ketika beliau pulang menuju Waido, beliau singgah sebentar di kawasan gampong Blang kecamatan Simpang Tiga, karena merasa kehausan beliau meminta seteguk air tebu yang sedang diperas oleh salah seorang penduduk gampong Blang tersebut, persisnya di keude gampong Blang sekarang. Air tebu yang diperas warga tadi akan dimasak menjadi manisan, air tebu diperas dengan menggunakan weng teubee (alat peras) yang ditarik oleh kerbau. Tengku Chik menghampiri warga tersebut dan meminta sedikit air tebu yang diperasnya, orang tadi tidak mau memberikannya dengan alasan air tebunya mau dimasak untuk manisan dan bukan untuk diminum, mendengar jawaban tersebut Tengku Chik langsung bergegas pulang menuju Waido. Dalam perjalanan pulang beliau tanpa sengaja menoleh ke belakang, terlihat weng tubee tadi mengikutinya tanpa ditarik oleh kerbau, sungguh aneh! Melihat hal itu beliau berhenti dan berujar kepada weng teubee tersebut “alah hai meutuah, bek lee ka seutoet lon” (Wahai meutuah[1] jangan engkau ikuti saya lagi). Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, weng teubee tadi berhenti dan Tengku Chik pun meneruskan perjalanannya pulang ke Waido. Weng teubee sekarang bisa dijumpai di kawasan antara gampong Blang dengan Waido. (penulis tidak tahu persis nama gampong tersebut).

Diceritakan pada suatu hari beliau datang ke Teungu kecamatan Simpang Tiga, ini sering dilakukannya, bahkan ke gampong-gampong lainnya, tidak hanya Teungue. Ketika tiba di Teungue, diceritakan bahwa beliau beristirahat di bawah pohon kelapa, tiba-tiba tupai yang ada di pohon kelapa tersebut kencing dan jatuh menimpa kain Tengku Chik, melihat kainnya tertimpa kencing tupai, beliau merasa kesal dan berkata yang intinya agar Teungu aman dari serangan tupai. Sampai sekarang pun tidak ada seekor tupai pun yang bertahan hidup di daerah Tengue. Mengenai hal ini penulis mempersilahkan kita semua untuk menguji kebenarannya, bahkan sudah banyak orang yang datang sengaja membawa tupai ke Teungue, namun yang terjadi tupai tidak dapat bertahan hidup lama dan mati.

Karena ketenaran namanya serta keuramat yang terbukti dimiliknya, semua warga gampong dalam kecamatan Simpang Tiga menginginkan agar ketika meninggal Tengku Chik dikebumikan di gampong mereka, akhirnya Tengku Chik memutuskan jalan tengah agar tidak terjadi perdebatan mengenai lokasi kuburannya, jalan yang diambil Tengku Chik adalah dengan melempar tongkat yang dimilikinya, dimana nanti tongkatnya jatuh disitulah kuburannya. Tengku Chik melempar tongkat dari Waido dan jatuh di Kawasan Ie Leubee kecamatan Kembang Tanjong, jarak dari Waido ke Ie Leubee kira-kira 12 km, Subhanallah! Sungguh aneh, tetapi itulah yang terjadi, dengan demikian maka kuburan beliau adalah di Ie Leubee kecamatan Kembang Tanjong. 

 Beberapa waktu kemudian (tidak disebutkan dengan jelas tahunnya) beliau pun meninggal, sesuai dengan wasiat beliau, beliau dikebumikan di Ie Leubee. Seluruh warga mengantar jenazah beliau dari Waido menuju Ie Lelubee, untuk mempersingkat perjalanan ditempuhlah dengan melewati persawahan yang pada saat itu mulai dikerjakan petani untuk ditanami padi. Ada seorang petani yang melarang jenazah Tengku Chik diusung melewari sawahnya, dengan alasan ateung (pematang sawah) yang dibuatnya akan rusak terinjak pengusung jenazah, karena dilarang oleh petani tersebut jenazah Tengku Chik diusung tidak melewati sawah tersebut dan mengambil arah lain. Sampai sekarang pun ateung sawah tersebut selalu rusak walaupun setiap tahun diperbaiki. Sawah tersebut terletak di kawasan gampong Blang kecamatan Simpang Tiga. Dikisahkan pula bahwa para pengusung jenazah Tengku Chik mengaku bagaikan mengusung kapas dan jarak yang ditempuh sedemikian jauh terasa dekat. Sampai sekarang kuburan Tengku Chik Pasi yang terletak di Ie Leubee sering diziarahi warga, baik dari kembang Tanjong, Simpang Tiga serta daerah-derah lain.

No comments:

Post a Comment