Wednesday, August 30, 2017

MISTERI JATUHNYA BINTANG DI PIDIE

Sungai Bintang (Lueng Bintang)
Misteri jatuhnya bintang di Pidie merupakan suatu fenomena yang sampai saat ini menjadi tanda tanya kita semua. Misteri jatuhnya Bintang di Pidie telah diabadikan pada sebuah sungai yang bernama Lueng Bintang (Sungai Bintang). Lueng Bintang ini pucuknya berada di Keumala Kabupaten Pidie. Lueng Bintang memberikan manfaat yang sangat luar biasa kepada masyarakat di Kabupaten Pidie. Sungai ini membentang dari Keumala hingga ke Kecamatan Simpang Tiga Kabupaten Pidie.

Sejarah Lueng Bintang


Penulis mendengar dari kabar-kabar orang yang mengisahkan awal munculnya Sungai Bintang (Lueng Bintang) di Kabupaten Pidie pada masa hidupnya Teungku Abdussalam Bin Teungku Burhanuddin atau di kenal dengan sebutan Teungku Syiek Di Pasi. Walaupun bukan menjabat sebagai seorang raja atu sebagai panglima, beliau sangat berkonstribusi dalam pembangunan Pidie pada masanya di Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya Islam. Sungai Bintang (Lueng Bintang) merupakan bukti nyata dan saksi bisu yang membuktikan Teungku Syiek Di pasi sebagai seorang Pembangun Pidie pada masanya.

Kisah awalnya ketika selesai Sang Teungku Syiek di pasi bertapa (beribadah menurut Agama Islam) di sebuah Gua yang ada di pegunungan Halimun, beliau bertanya kepada rekannya yaitu Teungku Chik Di Reubei dan Teungku Syiek Di Trong Campli. Teungku Syiek Di pasi bertanya kepada Rekannya: Apa oleh-oleh yang akan kita berikan kepada orang Kampung Kita kalau kita turun dari pertapaan atau Khalued ini (dalam Bahasa Aceh)?. Kedua rekannya menjawab: Kita akan membawa pulang emas dan memberikan emas kepada orang Kampung kita, di sini kan banyak emas (tempat khaluet memang banyak emas). Hal itu terbukti pada masa sekarang bahwa pegunungan Halimun memiliki sangat banyak emas dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat dan pemerintah Kabupaten Pidie. Kemudian mereka berembug dan bermusyawarah untuk mengambil sebuah keputusan tentang oleh-oleh yang akan diberikan kepada orang-orang Kampung ketika turun dari Khaluet di Gunung Halimun.

Setelah bermusyawarah timbullah sebuah keputusan di antara mereka, kesimpulannya adalah memberikan kado yang lebih baik dan lebih mahal harganya dari pada emas yang ada dari pegunungan itu yaitu sungai yang di dalamnya mengalir air yang sangat subur untuk pertanian dan perkebunan.

Maka berawal dari keputusan itulah Teungku Syiek Di Pasi menggariskan tongkatnya pada tanah sembari ia pulang ke kampung halamannya yaitu Gampong Waido. Nah, dari tanah yang telah digariskan oleh Teungku Syiek Di Pasi mengalirlah air dari Keumala hingga Gampong Waido. Dulunya menurut cerita, sungai tersebut sangat kecil dan kemudian Gajah menggilas aliran sungai tersebut hingga sungainya menjadi besar. Dan sungai ini menjadi sumber kehidupan beberapa Kecamatan di Kabupaten Pidie. pada saat itu sungai tersebut belum ada namanya. Nama sungai tersebut pada waktu itu adalah sungai Teungku (wallahu alam bisshawab)

Foto Gampong Waido

Kronologis Jatuhnya Bintang di Kabupaten Pidie !!!!


Kronologis jatuhnya bintang di pidie pada ketika Teungku Syiek di Pasi keluar dari tempat ibadahnya yaitu Rumoh Khalut. Ketika kelua beliau melihat Bintang jatuh dari Langit. Namun dimana arah bintang jatuh itu masih menjadi misteri. Atau bintang yang jatuh itu merupakan komet atau gugus bintang yang jatuh di atmosfir.

Nah, Dengan jatuhnya bintang pada saat itu kemudian Teungku Syiek Di pasi memberikan nama sebuah sungai yang pernah dibangunnya dengan nama Lueng Bintang. Lueng Bintang saat ini lebih berharga dari emas dan permata sekalipun bagi masyarakat Pidie pada umumnya.

Teungku Syiek Dipasi merupakan tokoh ulama yang sangat mempengaruhi pembangunan Pidie pada sektor pertanian.Distribusi yang diberikannya kepada anak cucunya sangat berharga dibandingkan emas dan permata.



Anda Perlu Uang??????


Salam dari Hendra Darmawan Waido (HDW)

Mohon perbaikan pada penulisan ini.....

Tuesday, August 29, 2017

Tragis, Seorang Bidan Meninggal di Pidie



Bidan merupakan profesi yang sangat mulia di bawah derajat orang berilmu. Bidan sangat dimuliakan oleh nabi kita Muhammad SAW. Menjadi seorang bidan tidaklah semudah meminum air di dalam gelas dan menuangkannya ke dalam mulut. Profesi Bidan membutuhkan profesionalitas yang tinggi untuk menjadi seorang bidan yang handal. Di tangan Bidan akan lahir generasi yang siap untuk penerus bangsa ini. 

Bidan harus diberi penghargaan yang baik oleh masyarakat atau lembaga lainnya. Memiliki sorang istri seorang bidan adalah nikmat terbesar dalam hidup ini. bidan menyumbangkan tenaganya pada umat manusia dengan keahliannya dalam menangani persalinan.

Namun, apa yang terjadi pada bidan yang berasal dari bireun yang meninggal secara tragis yang diduga kuat korban dibacok berulang kali hingga menyebabkan hilangnya nyawa seorang bidan handal di Provinsi Aceh.

Bagaimana Kisahnya??

Misteri Jatuhnya Bintang di Pidie 

 
Nursiah yang berumur 43 tahun yang berprofesi sebagai Bidan yang merupakan warga Gampong Blangong Basah Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie tewas terbunuh oleh seseorang yang belum diketahui identitasnya pelakunya (28/8/2017). Kejadian itu terjadi pada sore hari sekitar jam 15.00 wib di sebuah rumah.

Pada saat kejadian, korban memakai baju putih yang sudah basah dengan darah yang keluar dari badannya. Korban dengan pakaian dinasnya tergeletak di lantai dekat kipas angin yang ada di sisi korban. Korban terlihat dibacok berulang kali hingga menyebabkan bidan tersebut kehilangan nyawanya.

Sampai saat ini belum diketahui motif yang merenggut nyawa seorang wanita yang berprofesi sebagai seorang bidan di Kabupaten Pidie. Hanya terlihat polisi di rumahnya yang sedang mengolah TKP untuk menindaklanjuti dan mengungkap siapa pelaku pembunuhan yang sangat tragis itu.

Pada saat ini Polisi Kabupaten Pidie sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk penyelidikan dan memburu pelakunya. Polisi juga sedang memburu tersangka berinisial HAM yang diduga adalah suami korban sendiri. Semoga pelakunya cepat ketangkap dan mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Thursday, August 24, 2017

TERKUAKNYA MISTERI BUKIT TANGKUBAN PERAHU DI ACEH


MISTERI BUKIT TANGKUBAN PERAHU DI ACEH

Bukit tangkuban perahu dulu hanya kita dengar di daerah Jawa dan hal tersebut merupakan mitos yang terjadi. Akan tetapi Penulis kaget mendengar bukit Tangkuban Perahu yang ada di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Ketika penulis menelusuri lebih jauh di Seputaran Pidie Penulis menemukan lokasi dimana bukit Tangkuban Perahu itu berada. Tangkuban perahu ini sangat sarat dengan cerita mistis yang sangat memukau jiwa penulis. 

Tapi sebelumnya, Penulis ingin menjelaskan tentang apa itu bukit Tangkuban Perahu yang ada di Kabupaten Pidie. Bukit kalau dalam leteratur Bahasa Aceh dinamakan dengan Cet, Tumpok Tanoh, Glee Ubit, atau Cot. Tangkuban dalam bahasa Aceh adalah glong, Kalau Perahu dalam bahasa Aceh dinamakan peuraho. Nah, dalam hal ini Bukit Tangkuban Perahu yang ada di Pidie-Aceh dinamakan dengan Cot Peuraho.

Dimanakah Cot Peuraho itu berada?
Cot Peuraho atau Bukit Tangkuban Perahu Pidie berada pada areal persawahan Blang Pante. Blang Pante ini terletak di Desa Mee Krukon Kecamatan Peukan Baro Kabupaten Pidie. Tangkuban Perahu tersebut tidak jauh dari jalan sehingga peminat dapat melihatnya dengan sangat jelas keberadaan Bukit Tangkuban Peuraho yang ada di sana. Gampong Mee Krukon berlokasi pada jarak 3 kilomiter dari kecamatan peukan baro. Disinilah keberadaan Bukit Tangkuban perahu yang ada di Kabupaten Pidie.

Bagaimana hal ihwal adanya Bukit Tangkuban perahu di Pidie?
Konon pada masa penjajahan Belanda disana ada seorang ulama kharismatik yang keramatnya sangat ditakuti oleh belanda. beliau bernama Teungku Abdussalam Bin Teungku Burhanuddin. Masyarakat Pidie mengenalnya dengan sebutan Teungku Chik Di Pasi. Beliau memiliki perahu untuk menyeberang aliran sungai untuk shalat Jum'at ke Mesjid Guci Rumpong. Jarak antara tempat Beliau dengan Mesjid hanya berkisar 1 kilometer. Ketika beliau hendak mengayuh perahunya tiba-tiba terlihat seorang manusia (tidak diketahui namanya) sedang membuang hajat di dekat perahu beliau. Kemudian Beliau menyuruh manusia tersebut untuk tidak membuang hajat di tempat tersebut. Tetapi seruan Beliau tidak diindahkan oleh orang tersebut.

Nah, Ketika itu beliau berdoa kepada Allah SWT agar Sungai yang ada disana Pindah ke tempat lain. Doa Teungku Syiek Di pasi pun dikabulkan oleh Allah SWT. Dengan izin Allah swt dan dengan keberkahan doa beliau sungai tersebut pindah ke kecamatan Reubei atau sekitarnya. Perahu beliau tidak digunakan lagi untuk alat transportasi penyeberangan karena tidak ada sungai lagi di sana. Dan lama kelamaan 3 unit perahu yang ada di sana menjadi bukit kecil sepeti tumpukan tanah. Bukit Tangkuban perahu ini berbentuk Perahu di Areal persawahan tersebut. 

Ada dua Bukit Tangkuban Perahu yang sangat unik untuk dilihat dan dicermati. Yang Pertama Bukit Tangkuban Perahu Telungkup atau di dalam bahasa masyarakat sekitar dinamakan dengan Cot Peuraho Teugom. Yang Kedua dinamakan Cot Peuraho Linteung atau Bukit Tangkuban Perahu tidak Telungkub. Cot Peuraho Teugom (Bukit Tangkuban Perahu Telungkup) lebih tinggi dibandingkan dengan Cot Peuraho Linteung (Bukit Tangkuban Perahu tidak Telungkub).

Nah,,, Bukit Tangkuban perahu di Pidie menjadi bukti sejarah bahwa Pidie merupakan satu Kabupaten yang layak untuk ditulis dan torehkan dalam buku sejarah Nusantara.

Wednesday, August 23, 2017

ADA APA DENGAN RAJA PIDIE ???

Penulis: Hendra Darmawan Waido (HDW)

Tulisan ini berawal dari asumsi sejarawan Aceh yang bernama Dr M Adli Abdullah yang pernah menyaksikan kondisi makam raja pidie yang terakhir. Seperti yang dilansir oleh Serambi Indonesia pada halaman Nanggroe yang berjudul Sultan Terakhir Aceh Ini Meninggal Menyedihkan, Ditangkap dan Dibuang ke Luar Aceh yang menyatakan bahwa raja pidie terakhir adalah Sultan Muhammad Daud Syah.

Dari analisis saya beliau memiliki istri dan anak yang berumur 6 tahun bertepatan pada tanggal 26 November 1902. Nama istrinya adalah Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid, dan anaknya bernama Tuanku Raja Ibrahim yang kemudian isteri dan anaknya disandera oleh Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie. Tujuan penyanderaan ini agar Sultan Muhammad Daud Syah menyerahkan diri kepada Belanda.

Sultan Muhammad Daud Syah ditangkap selama 16 tahun dan kemudian dipindahkan ke Jatinegara, Jakarta pada tahun 1918. Beliau wafat pada tanggal 6 Februari 1939. Di pusaranya tertulis, “Toeankoe Sultan Muhammad Daoed ibnal Marhoem Toeankoe Zainal Abidin Alaiddin Syah, wafat hari Senen 6 Februari 1939.” Hal ini menandakan bahwa Ayah Sultan Muahammad Daud Syah adalah Sultan Zainal Abidin alaiddin syah. 

Wafatnya Sultan Muhammad Daud Syah memberikan asumsi bahwa anak beliau yang bernama tuanku Raja Ibrahim kurang lebih sudah berumur sekitar 40 tahun.

Nah untuk itu, berarti ketika Tuanku Raja Ibrahim berumur 47 Tahun, Indonesia suda memproklamirkan kemerdekaannya. Berarti secara logika Tuanku Raja Ibrahim masih hidup ketika Indonesia terbebas dari penjajahan belanda.

Untuk itu jejak Sultan Tuanku Raja Ibrahim yang merupakan anak dari Sultan Muhammad Daud Syah harus mendapat perhatian yang serius. Karena Sultan Raja Ibrahim atau anak-anaknya atau cucu-cucunya masih bisa ditemukan.

Dalam hal ini dukungan serta asumsi Pemerintah Kabupaten Pidie sangat dibutuhkan. Sejarah merupakan spion untuk melihat dari belakang untuk melancarkan langkah masa depan Pidie yang lebih baik.

wallahu a'lam bisshawab, hanya Allah yang Maha Mengetahui,,,,,,,,

Tuesday, August 22, 2017

ULAMA PIDIE YANG DITAKUTI BELANDA

Penulis: Hendra Darmawan Waido (HDW)


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Kisah yang akan diceritakan berikut merupakan kisah nyata dari perjalanan seorang hamba Allah yang dikenal dengan nama Tengku Chik di Pasi (bukan nama asli), kisah nyata ini diceritakan secara turun temurun oleh masyrakat Pidie, khususnya masyarakat yang berdomisili di kawasan Simpang Tiga dan Kembang Tanjong, kisah ini menggambarkan bagaimana perjalanan seorang hamba Allah yang mendapat karamah (keuramat) dari Allah SWT. Bukti sejarah dari perjalanan hidup beliau ini masih dapat dijumpai sampai sekarang di beberapa gampong dalam kecamatan Simpang Tiga dan Kembang Tanjung. Nama asli beliau adalah Abdussalam bin Burhanuddin, beliau berdomisili di Gampong Waidoe kecamatan Peukan Baro Kabupaten Pidie. Kendati beliau berdomisili di Gampong Waidoe perjalanan hidup beliau terjadi di beberapa tempat terutama di kawasan kecamatan Simpang Tiga dan Kembang Tanjong.

Pada suatu hari ada beberapa orang tamu datang ke rumah Tengku Chik untuk bertamu, ini merupakan tradisi yang dibangun masyarakat Aceh untuk menghormati seorang ulama, dan ini sudah menjadi tradisi dalam masyarakat. Tengku Chik adalah seorang ulama yang hidupnya sederhana, kebetulan pada hari itu ketika tamu-tamu datang ke rumah tidak ada lauk yang akan di masak untuk makan siang para tamu, isteri Tengku Chik mengomel dan mengeluh. Melihat kondisi tersebut Tengku Chik mohon izin sebentar kepada tamunya itu, beliau segera ke belakang rumah mengambil jala serta mengajak seoarang anak kecil yang sedang berada di depan rumahnya. Melihat keadaan agak lengang, beliau segera membuka jala dan melemparnya persis di halaman rumahnya, setelah ditarik, Subahanallah yang didapat adalah ikan bandeng yang lumayan besar-besar, beliau mengulangi melempar jala di tempat itu juga, hasilnya juga sama, anak kecil tadi merasa heran dengan tingkah dari Tengku Chik. Setelah merasa cukup beliau menyuruh anak tersebut memberikan ikan yang didapat tadi kepada isterinya, terselesaikanla
h keluhan isterinya tersebut berkat keuramat yang dimiliki beliau.

Tengku Chik hidup di tengah masyarakat Waido yang kebanyakan berprofesi sebagai petani, demikian juga dengan Tengku Chik. Sudah menjadi tradisi masa lalu bahwa membajak sawah (meugoe) dilakukan dengan lembu atau kerbau, begitu juga meugoe yang dilakukan oleh Tengku Chik Pasi. Setiap hari beliau pergi ke sawah selalu terlambat dari petani yang lain, bahkan sudah menjadi kebiasaan beliau, ketika orang bertanya “Mengapa tengku selalu terlambat ke sawah?” beliau menjawab “Lembu saya terlambat bangun tidur, saya tidak mau mengganggu tidurnya” demikian jawaban Tengku Chik. Akibatnya beliau tertinggal dari petani, lain yang sudah siap sawahnya untuk ditanami padi sedangkan beliau tidak. Kendati demikian sawah yang duluan padinya ditanami adalah sawah Tengku Chik, hasil padi beliau pun lebih melimpah dibandingkan dengan petani lainnya.

Pada suatu hari ketika beliau pulang menuju Waido, beliau singgah sebentar di kawasan gampong Blang kecamatan Simpang Tiga, karena merasa kehausan beliau meminta seteguk air tebu yang sedang diperas oleh salah seorang penduduk gampong Blang tersebut, persisnya di keude gampong Blang sekarang. Air tebu yang diperas warga tadi akan dimasak menjadi manisan, air tebu diperas dengan menggunakan weng teubee (alat peras) yang ditarik oleh kerbau. Tengku Chik menghampiri warga tersebut dan meminta sedikit air tebu yang diperasnya, orang tadi tidak mau memberikannya dengan alasan air tebunya mau dimasak untuk manisan dan bukan untuk diminum, mendengar jawaban tersebut Tengku Chik langsung bergegas pulang menuju Waido. Dalam perjalanan pulang beliau tanpa sengaja menoleh ke belakang, terlihat weng tubee tadi mengikutinya tanpa ditarik oleh kerbau, sungguh aneh! Melihat hal itu beliau berhenti dan berujar kepada weng teubee tersebut “alah hai meutuah, bek lee ka seutoet lon” (Wahai meutuah[1] jangan engkau ikuti saya lagi). Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, weng teubee tadi berhenti dan Tengku Chik pun meneruskan perjalanannya pulang ke Waido. Weng teubee sekarang bisa dijumpai di kawasan antara gampong Blang dengan Waido. (penulis tidak tahu persis nama gampong tersebut).

Diceritakan pada suatu hari beliau datang ke Teungu kecamatan Simpang Tiga, ini sering dilakukannya, bahkan ke gampong-gampong lainnya, tidak hanya Teungue. Ketika tiba di Teungue, diceritakan bahwa beliau beristirahat di bawah pohon kelapa, tiba-tiba tupai yang ada di pohon kelapa tersebut kencing dan jatuh menimpa kain Tengku Chik, melihat kainnya tertimpa kencing tupai, beliau merasa kesal dan berkata yang intinya agar Teungu aman dari serangan tupai. Sampai sekarang pun tidak ada seekor tupai pun yang bertahan hidup di daerah Tengue. Mengenai hal ini penulis mempersilahkan kita semua untuk menguji kebenarannya, bahkan sudah banyak orang yang datang sengaja membawa tupai ke Teungue, namun yang terjadi tupai tidak dapat bertahan hidup lama dan mati.

Karena ketenaran namanya serta keuramat yang terbukti dimiliknya, semua warga gampong dalam kecamatan Simpang Tiga menginginkan agar ketika meninggal Tengku Chik dikebumikan di gampong mereka, akhirnya Tengku Chik memutuskan jalan tengah agar tidak terjadi perdebatan mengenai lokasi kuburannya, jalan yang diambil Tengku Chik adalah dengan melempar tongkat yang dimilikinya, dimana nanti tongkatnya jatuh disitulah kuburannya. Tengku Chik melempar tongkat dari Waido dan jatuh di Kawasan Ie Leubee kecamatan Kembang Tanjong, jarak dari Waido ke Ie Leubee kira-kira 12 km, Subhanallah! Sungguh aneh, tetapi itulah yang terjadi, dengan demikian maka kuburan beliau adalah di Ie Leubee kecamatan Kembang Tanjong. 

 Beberapa waktu kemudian (tidak disebutkan dengan jelas tahunnya) beliau pun meninggal, sesuai dengan wasiat beliau, beliau dikebumikan di Ie Leubee. Seluruh warga mengantar jenazah beliau dari Waido menuju Ie Lelubee, untuk mempersingkat perjalanan ditempuhlah dengan melewati persawahan yang pada saat itu mulai dikerjakan petani untuk ditanami padi. Ada seorang petani yang melarang jenazah Tengku Chik diusung melewari sawahnya, dengan alasan ateung (pematang sawah) yang dibuatnya akan rusak terinjak pengusung jenazah, karena dilarang oleh petani tersebut jenazah Tengku Chik diusung tidak melewati sawah tersebut dan mengambil arah lain. Sampai sekarang pun ateung sawah tersebut selalu rusak walaupun setiap tahun diperbaiki. Sawah tersebut terletak di kawasan gampong Blang kecamatan Simpang Tiga. Dikisahkan pula bahwa para pengusung jenazah Tengku Chik mengaku bagaikan mengusung kapas dan jarak yang ditempuh sedemikian jauh terasa dekat. Sampai sekarang kuburan Tengku Chik Pasi yang terletak di Ie Leubee sering diziarahi warga, baik dari kembang Tanjong, Simpang Tiga serta daerah-derah lain.

ADA APA DENGAN PIDIE?



Ditulis oleh: HENDRA DARMAWAN WAIDO
Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry

Pidie merupakan satu kabupaten yang ada di provinsi Aceh. Kabupaten Pidie sangat berbeda dengan Kabupaten-kabupaten lain yang ada di Provinsi Aceh. Kenapa demikian???

Boleh dikatakan pidie memiliki keunikan dan tersirat makna yang tersembunyi bila kita melihat secara seksama dan dengan pikiran yang jernih serta berpikir secara positif. Kabupaten Pidie memiliki keunikan tersendiri dari bentuk wilayah dan nama wilayahnya.

Yang pertama
Penulis ingin menguraikan sedikit tentang penamaan Kabupaten Pidie. Yukkk Kita lihat Kabupaten Lain Dulu!!!!
Kota Madya Banda Aceh ibukotanya Banda Aceh, Jantho berada di Aceh Besar, Bireun adalah Kabupaten Aceh Utara (dulu), Takengon dinamakan dengan Aceh Tengah,, dan banyak kota-kota atau Kabupaten-kabupaten lain yang ada di Provinsi Aceh memiliki penamaan Acehnya atau disematkan nama Aceh nya. Akan tetapi Sigli berada di Kabupaten Pidie, Beureunun di Kabupaten Pidie.  Yang menjadi pertanyaannya adalah Kenapa Kabupaten Pidie tidak dinamakan dengan Kabupaten Aceh Pidie atau semacam yang serupa dengan nama Kabupaten lain yang ada di Aceh yang diawali dengan Nama Aceh….
Penasaran Bukan? Pasti Jawabannya oh ya ya,, Kenapa Ya???
Tuh kan ketahuan jawaban dari kata hati kawan-kawan..

Yang Kedua

Yuk kita melihat Hari Jadi Kabupaten Pidie. Selama saya hidup di Gampong Waido Kecamatan Peukan Baro yang merupakan salah satu gampong yang berada di Kabupaten Pidie. Pidie belum pernah mengadakan acara Hari Jadi Pidie atau HUT Pidie ke 100 kek atau ke 200 kek atau ke berapa lah?? Nah, anda juga akan bertanya dalam hati kecil anda,, oh ya ya,, kenapa sih gak ada hari jadi atau HUT Pidie??

Oleh Sebab itu anda akan bertanya dalam hati anda, Kenapa Banda Aceh ada HUT nya??, Kenapa Bireun ada HUT nya??, Kenapa kota Meulaboh ada HUT nya?? Kenapa Jantho ada Hari Jadinya?? atau Kabupaten lainnya. Mungkin tanda Tanya akan tampil dua kali atau lebih di dalam lubuk hati anda seperti yang Penulis ketik ini. Ya Kan?? Jawabnya pasti iyalah.. masa sih iya dong!!!!
Kenapa Demikian????

Yang ketiga
Kenapa di Kabupaten lain ada yang namanya Gampong Pidie?? Ada yang namanya Blang Pidie?? Dan nama-nama lain yang ada kaitannya dengan Pidie??? Penasaran bukan??? Penulis juga penasaran nih????
Ada apa dengan Pidie?????

Yang Keempat
Kenapa orang Pidie suka piknik atau merantau???? Nah, penasaran juga ya??
Sepanjang perjalanan Penulis, orang Pidie sangat banyak sekali yang merantau ke Kabupaten lain, provinsi Lain, bahkan ke Negara-negara lain yang ada di dunia. Mayoritas anak Pidie yang merantau ke tempat lain meraih prestasi gemilang yang dinamakan dengan sukses. wah,, ada apa dengan Pidie?

Yang kelima
Bahasa Aceh yang dibakukan adalah bahasa Pidie. Kenapa demikian????? Timbul tanda Tanya lagi bukan????
Karena bahasa Pidie memiliki kesempurnaan baik dalam melafalkan suku kata atau konsonan. Bahasa Pidie merupakan bahasa yang paling sempurna baik dari segi kata-katanya atau cara melafazkannya.

Yang Keenam
Masa lampau, kebanyakan orang pidie menjadi raja atau pemimpin di daerah lain. Kenapa demikian karena Anak Pidie mampu bersaing serta punya kualitas intelektual yang tinggi.Oleh sebab itu Penulis berasumsi bahwa Pidie merupakan pemegang batu estafet dalam menyebarluaskan wilayah di Aceh. Dan saya berpendapat bahwa orang Pidie yang membangun sebagian wilayah-wilayah kabupaten yang ada di Aceh pada masa lampau.

Hal ini berkaitan dengan Kabupaten Aceh selatan yang telah dibuktikan oleh Koran Serambi Indonesia yang memberitakan tentang Pemilik Bendera Peninggalan Aceh Darussalam di Trumon Pernah Menetap di Pidiepada berita tersebut menjelaskan bahwa:

T. Raja Aceh sebagai pewaris kerajaan Trumon, pemilik salah satu bendera pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, di Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, ternyata nenek moyangnya pernah menetap di Batee, Grong-grong, Kabupaten Pidie. Karena itulah yang menyebabkan banyak orang berasumsi Tengku Djakfar berasal dari Pidie.

Diakuinya, kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Aceh Selatan Raya (Abdya, Aceh Selatan, Subulussalam dan Singkil) punya kaitannya dengan Pidie.
Bahkan ada kerajaan yang rajanya memang berasal dari Pidie, seperti Raja Kuala Batu, Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya, Teuku Cik Karim asal Pidie.(Sumber Serambi Indonesia pada tanggal 22/8/2017)
  
Maka oleh sebab itu penulis berasumsi bahwa Pidie merupakan nenek moyangnya Aceh Selatan Raya yang meliputi Abdya, Aceh Selatan, Subulussalam dan Aceh Singkil. Pidie memiliki sejarah yang sangat penting dalam peradaban Aceh ini. Oleh Sebab itu saya pernah mendengar kata yang sangat bijaksana yang dikatakan oleh salah seorang mantan Bupati Pidie yang mengatakan bahwa: Pidie yang satu menuju Aceh yang satu.

Oleh sebab itu Rakyat Aceh memiliki sifat kasih sayang yang masih melekat erat dengan adat dan istiadat yang sangat indah. Karena masyarakat aceh terlahir dari darah yang sama yang memiliki tali persaudaraan yang tinggi dan kuat.

Pidie merupakan satu Kabupaten yang sangat unik untuk ditelusuri oleh pakar penelitian. Hal ini dilakukan untuk mencari kebenaran yang ada di dalam wilayah tersebut. Bagaimana sejarah Pidie yang sebenarnya. Sejarah Pidie sangat jarang diteliti oleh para peneliti, hal ini berpengaruh pada tidak adanya ilmu pengetahuan tentang sejarah Kabupaten Pidie yang sebenarnya. Maka oleh sebab itu penulis mengharapkan kepada pemerintah Aceh dan Pemda Pidie untuk lebih jeli meneliti sejarah Pidie.
Hanya Wallahu A'lam bissawab yang dapat penulis ucapkan. Muhon Sumbangan Pendapat Perbaikan pada penulisan artikel ini agar artikel ini menjadi ilmu pengetahuan yang berguna bagi Pidie khususnya dan bagi masyarakat Aceh pada umumnya.

Baca Juga
Terkuaknya Misteri Tangkuban Perahu di Aceh
Ulama Pidie yang ditakuti Belanda
Ada apa dengan Raja Pidie 

Ini hanya sebuah asumsi yang perlu dikaji lebih dalam lagi....
yuukk kita sama-sama menggali sejarah Pidie yang lebih dalam lagi....